Book Review: Anak-anak Revolusi oleh Budiman Sudjatmiko


Kenalkah kau pada peristiwa sejarah bangsamu?

“Sebuah perubahan menuntut pengorbanan dari pemimpin-pemimpin perubahan. Bahkan nyawa mereka sekalipun. Adakah pemimpin rakyat Indonesia yang mau berkorban untuk sebuah perubahan?” Pg. 204

Hidup di salah satu peristiwa penting bangsamu belum berarti dirimu paham apa yang sebenarnya terjadi. Paling tidak itulah yang saya rasakan terhadap peristiwa digulingkannya Orde Baru dan perjalanan menuju penggulingan Orde Baru. Apalagi saya baru kelas 5 SD saat itu. Dunia yang saya tahu hanya pergi ke sekolah, main di rumah tetangga dan kembali ke rumah bersama keluarga.

Situasi memang sempat mencekam, komplek-komplek pemukiman harus membuat barikade, toko-toko ditulisi “milik pribumi”, bapak-bapak harus ronda bermalam-malam karena disamping demonstran yang melancarkan aksi protes di DPR/MPR, penjarah juga bolak-balik mengangkut barang-barang dari pusat perbelanjaan atau toko-toko pinggir jalan, ditambah perkosaan terhadap perempuan etnis Cina. Tapi mengerti kah saya apa yang diperjuangkan? Tahu, tapi tidak sepenuhnya paham.

Apa itu Anak Anak Revolusi?

Anak Anak Revolusi adalah sebuah otobiografi yang memuat tentang perjalanan seorang Budiman Sudjatmiko dari masa kecil, masa sekolah, masa menemukan jati diri dan perjuangannya untuk melihat perubahan terjadi di Indonesia. Sebuah catatan penting yang cukup memuaskan rasa penasaran saya. Penasaran, kog bisa ada manusia-manusia yang bisa melupakan dirinya demi kepentingan bersama. Manusia-manusia yang rela kehilangan nyawa– mungkin lebih ke pasrah–demi reformasi.

Berapa banyak sih anak-anak yang tahu hidupnya mau dibawa kemana di usia SMP?

“Malam itu akhirnya aku berlari menjauh dari sebuah persimpangan kehidupan. Satu pilihan telah kutetapkan. Beberapa minggu kemudian, pada suatu pagi aku berlari menuju impian yang telah kucari selama ini. Sebagai pelayar kehidupan dalam usia setengah mentah, perahuku kian menjauh dari pelabuhan.” pg. 205

Agak “ngeri” memang kulihat-lihat Budiman Sudjatmiko ini. Sedari usia SD sudah tergelitik dengan ketimpangan sosial yang dilihat dan dialaminya sewaktu di desa. Kakek yang meninggal bunuh diri karena kemiskinan, teman-teman seusia yang sulit makan layak karena orang tuanya tidak punya uang, kawannya si penjaga bioskop yang jadi sembrono justru karena menerima uang kaget.

Kutipan di atas adalah ketika ia mengambil keputusan untuk meneruskan sekolah di kota pelajar, lepas dari amannya lindungan keluarga agar ia bisa semakin dekat dengan ketimpangan sosial itu. Keputusan itu diambil ketika ia berusia 3 SMP. Saya usia 3 SMP? Tentu tidak berpikir sepanjang itu.

Tumpukan lembaran dosa

“Menurutku pertemuan pertama seorang manusia dengan buku, apalagi jika diikuti dengan jalinan cinta antara keduanya, harus dilihat sebagai moment of truth pada jalan hidupnya. Momentum saat seseorang bertemu buku itu adalah saat dirinya sedang ditinggikan melampaui tinggi tubuhnya, diluaskan jarak pandangnya melampaui jarang pandang indrawinya. Dunia yang tampak tua dengan keriput dan lipatan-lipatan kulit yang mengganggu tiba-tiba jadi tergelar seperti kulit seorang gadis atau jejaka ranum. Cemerlang dan terang benderang menyilaukan, dengan pengetahuan jernih tentang permukaan dan kedalamannya.” Pg. 93

Satu hal yang saya ingin lakukan ketika membaca buku ini adalah hunting buku-buku yang dicuci bersih dengan mesin cuci rumah oleh ibu beliau di tahun 1996 untuk menghapus dosa-dosa membaca buku-buku yang dicap “berbahaya” oleh Orde Baru agar tidak dihukum lebih berat. Kala itu, rumah orangtua beliau memang dalam posisi dikepung berhari-hari oleh intelijen tentara dan polisi.

Buku-buku warisan kakek dan bapak beliau yang adalah aktivis Gerakan Siswa Nasional Indonesia:, koleksi buku-buku politik, ekonomi, inggris, manajemen organisasi, fotografi, teknik industri. Buku-buku mengenai Bung Karno bersama Jawaharlal Nehru, Mao Tse-tung dan John F. Kennedy, dsb.

Pertanyaannya: apakah buku-buku tersebut masih bisa dicari?

Membaca dan berefleksi

Tapi pada akhirnya, membaca saja tanpa mampu merefleksikan apa yang dibaca adalah sia-sia. Karena beliau mampu berefleksi, memilah-milih apa yang bisa dicerna dan apa yang masih harus dipertanyakan, sembari melihat kenyataan disekitarnya-lah yang membuatnya mampu menjadi manusia yang bukan hanya berwawasan, tetapi memiliki tujuan.

Betapa recehnya aktivis yang rindu romansa ini

Dibalik semua perjalanan beliau yang kisahnya terasa heroik ini, beliau tetap seorang pemuda yang mendamba cinta. Seringkali receh pula. Ada satu bagian dimana beliau menceritakan bahwa ia sempat-sempatnya “nembak” seorang gadis ketika sedang sidang kasus.

Tapi diluar itu pun, saya juga merasa sebuah perjuangan memiliki romansanya tersendiri. Seperti yang dituliskannya:

“Perjuangan selalu memiliki original theme songs-nya. Ia seperti sebuah film yang selalu dibuat mengharu biru, di antaranya melalui komposisi musik yang menangkap ruh film tersebut. Akhirnya, berkarya seni (entah itu melalui teater, lukisan, puisi, maupun lagu) sering kami lakukan di tengah-tengah kegiatan kami.” Pg. 348

Anak Anak Revolusi vs Laut Bercerita

Penulisan Anak Anak Revolusi yang memiliki alur bolak-balik antara narasi perjalanan seorang Budiman Sudjatmiko dan masa-masa beliau diinterogasi secara tidak manusiawi mengingatkan saya dengan Laut Bercerita. Tidak heran sih memang karena beliau adalah salah satu narasumber yang diwawancara oleh Leila Chudori, dan Anak Anak Revolusi adalah satu-satunya (jika tidak salah) catatan aktivis tentang masa-masa gelap Indonesia tahun 90an.

Btw, ketika menulis ini jagat perbukuan sedang dalam perayaan buku-buku sastra masuk kurikulum. Buku ini tidak masuk daftar, memang, tapi semoga jadi dilirik oleh anak-anak generasi sekarang. Paling tidak, semoga setelah mereka membaca Nyanyian Akar Rumput dan Laut Bercerita yang ada dalam daftar, mereka jadi tambah penasaran. Karena jujur, membandingkan pengalaman membaca beliau dan saya, saya merasa kita ini dibodohkan oleh Orde Baru, dibuai dengan tampilan bahwa keadaan sedang baik-baik selalu. Semoga dengan sastra masuk kurikulum, jadi muncul individu-individu yang rindu menjaga Pancasila, disatukan oleh toleransi dan sejarah bangsa.

Leave a comment