Book Review: Lebih Putih Dariku oleh Dido Michelsen


Dalam benakku terdengar suamiku berkata lagi tentang pentingnya cerita Isah dituliskan: karena ada begitu banyak nyai seperti dia. Perempuan-perempuan yang harus rela dipisahkan dari anak-anaknya dan dia sendiri diharuskan pergi, yang dilupakan karena menjadi orang Eropa itu lebih baik dan karena ibu berkulit gelap itu memalukan.

Masih ada banyak nyai tidak dikenal dan nyai yang tidak menikah di Hindia Belanda. Perempuan yang di kemudian hari tidak bisa ditemukan karena secara resmi mereka tidak diakui keberadaannya dan tidak terdaftar di catatan mana pun. Ibu-ibu tanpa nama dari ribuan orang Indo Eropa dan keturunannya, yang kulitnya lebih putih darinya.

Hal. 287

Isah adalah anak luar nikah seorang pangeran dengan pembatik keraton. Hidup di zaman itu, di mana perempuan, apalagi anak perempuan tidak memiliki pilihan. Ia tersekat dinding status dan kedudukan. Isah berusaha memberontak. Ia kabur dari rencana perkawinan yang ditetapkan ibunya, kabur dari ibunya dan tinggal bersama lelaki Belanda, seorang tentara KNIL. Isah menjadi nyainya.

Ia berpikir mendapatkan kebebasannya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Situasi yang dihadapi dalam kesehariannya membuat jati dirinya sebagai seorang pribumi terusik. Relasi kuasa sebagai seorang nyai Belanda menempatkan dirinya lebih tinggi dari para pekerja di rumah Tuannya padahal mereka sama-sama sebangsa.

Pun setelah ia memiliki 2 anak dari Tuannya, Isah tetap pribadi tanpa status, tanpa kedudukan. Ditolak oleh kaumnya pribumi karena dianggap berkhianat, tidak diakui Belanda walau berperan sebagai istri. Bahkan status ibu dihapus dari kehidupan anak-anaknya, berganti status babu.

Kisah Isah bukanlah folklore kolonial. Ia bagian dari sejarah kita.

Aku rekomendasi satu buku untuk dibaca sebagai pelengkap, ya. Kalian bisa baca Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay. Kalian bisa lihat bahwa perempuan-perempuan seperti Isah dalam buku Reggie Bay benar nyata dan memiliki wajah.

Leave a comment